08 June 2016

Calon Independen Dinilai Akan Miliki Banyak Tantangan

Jumlah total calon kandidat pemimpin daerah dari kalangan independen pada Pemilukada 2015 hanya berjumlah 35 persen dari total keseluruhan calon. Sedangkan dari kalangan independen, yang berhasil memenangkan kursi pemilukada hanya 14,4 persennya saja. Minimnya partisipasi kandidat dari calon independen dinilai karena memiliki banyak tantangan berat. Hal itu pula yang sepertinya akan dihadapi para calon independen pada Pemilukada Jogja 2017 yang akan datang.

Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Dosen Ilmu Pemerintahan UMY, Tunjung Sulaksono, M.Si. dalam diskusi public “Restorasi Jogja, dari Proses Elektoral Pemilukada 2017” di Ruang Sidang Fakultas Hukum pada Kamis (26/05). Tunjung menjelaskan bahwa salah satu tantangan utama calon independen adalah masalah administrasi.

Tunjung menambahkan bahwa berbeda dengan calon dari partai politik, calon independen harus mandiri dalam urusan administratif. Selain biaya kampanye yang harus ditanggung secara independen, sang calon juga harus dapat mendapatkan dukungan dari masyarakat tanpa dorongan dari partai manapun.

Meski demikian, hadirnya calon independen dinilai Tunjung sebagai bentuk ril pengaplikasian dari teori yang hanya didapat dari kelas saja. “Dengan melakukan deklarasi-deklarasi tertentu, sang calon dari kalangan independen tentu dapat membuka mata publik. Namun dari sisi kekurangannya, yang dilakukan oleh sang calon selalu didasari oleh kesukarelaan atau voluntarism, yang berbeda dengan mesin-mesin kuat dari partai politik yang sudah memiliki dukungan masa,” terang Tunjung.

Meski disertai dengan tantangan berat, hadirnya calon dari kalangan independen dinilai Wawan Budiyanto selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Yogyakarta, sebagai strategi baru di tengah-tengah masyarakat. “Fungsi partai politik kadang-kadang memang berseberangan dengan keinginan rakyat. Sehingga munculnya calon dari independen diharapkan dapat membawa strategi yang berbeda,” ujar Wawan.

Wawan juga menjelaskan bahwa besarnya dana kampanye yang dikucurkan calon pemimpin semua harus dilaporkan ke KPU dan KPU membatasi besarnya jumlah dana yang dikeluarkan. “Tapi meski dari KPU sudah menetapkan dana dan fasilitasi sedemikian rupa, terkadang partai politik memiliki instrument politik dan daya jangkau sendiri. Hal tersebut yang juga menambah tantangan bagi calon dari pihak independen,” tambah Wawan.

Berbeda dengan pemaparan kedua pemateri, Garin Nugroho, Calon Walikota jalur independen JOINT optimis mendapatkan dukungan masyarakat untuk calon dari kalangan independen. Garin menilai bahwa pemilu sebagai bagian dari pendidikan, sehingga dengan munculnya calon dari independen dinilai sebagai bentuk pendidikan demokrasi di Indonesia.

Kalangan Independen yang dimaksud oleh Garin pun jenisnya beragam. Calon independen tidak melulu memperjuangkan suaranya sendiri tanpa dukungan dari pihak manapun. Garin menyebut jenis calon independen beragam. “Ada yang mulanya independen kemudian jadi bergabung dengan partai politik, ada yang tetap independen, ada yang independen tapi didukung oleh kelompok agama dan lain sebagainya,” ujarnya.

Garin juga menyatakan bahwa hadirnya calon independen di Yogyakarta berbeda dengan kasus munculnya calon-calon independen di kota-kota besar seperti Jakarta ataupun Surabaya. Munculnya calon independen dinilai Garin sangat tergantung dengan kotanya. “Bila di kota-kota besar seperti Jakarta, calon independen akan sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi, terutama dengan banyaknya pialang-pialang di Jakarta. Berbeda dengan Jakarta, kota Yogyakarta tidak banyak pialang-pialang, dan memiliki ekonomi yang masih minus. Jogja ibarat bendungan besar. Banyak cendekiawan dan budayawan, namun tangan-tangannya belum sampai ke kalangan bawah,” tutup Garin. (Deansa)

No comments:

Post a Comment